Kritik Empiris
Teori
adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil temuan
lapangan. Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan
generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di
suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Suatu teori juga dibangun di atas
landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara
satu dan lain teori (Suriasumantri, 1984). Dengan demikian pada gilirannya kita
bisa mempersoalkan apakah suatu teori mampu menjelaskan suatu kenyataan
lapangan tertentu atau dapat berlaku dalam kenyataan lapangan dengan setting budaya yang berbeda dari budaya
asal teori tersebut dirumuskan. Demikian juga terhadap konsep-konsep yang
mendasari teori tersebut, dan metode penerapan teori tersebut.
Untuk
contoh kritik empiris ini dapat dikemukakan temuan antropolog Margaret Mead
(1928) di masyarakat Samoa, yaitu bahwa
anak-anak remaja Samoa ternyata tidak mengalami apa yang dikenal sebagai
storm and stress dalam masa
perkembangan mereka. Padahal konsep storm
and stress yang merupakan hasil temuan pada anak-anak remaja di Amerika
Serikat waktu itu dianggap sebagai konsep yang universal, berlaku di mana saja.
Kultur di Samoa, rupanya berbeda dengan di Amerika, memungkinkan masa remaja –
yang merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa – berlangsung
secara mulus saja, tanpa storm and stress.
Contoh
lain adalah temuan antropolog Ruth Benedict, bahwa dorongan berkompetisi yang
oleh para ahli psikologi semula dianggap sebagai insting, dus bersifat
universal, ternyata juga sangat tergantung pada sistem kebudayaan. Pada
masyarakat suku Indian Zuni ternyata tidak ditemukan adanya semangat kompetisi.
Yang ada adalah semangat untuk selalu membantu orang lain yang mengalami
kesulitan. Di sana
masyarakat tidak melihat perlunya bersaing untuk mengalahkan orang lain.
Demikian juga pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo .
Contoh
lain lagi adalah kritik empiris terhadap konsep-konsep psikoanalisa (Sigmund
Freud) dan teori-teori yang mendasarkan diri pada konsep-konsep tersebut.
Betapapun kaburnya konsep-konsep psikoanalisa tersebut, sejumlah ahli telah
berhasil melakukan studi empirik yang dalam keseluruhan hasilnya ternyata
menyangkal kebenaran konsep-konsep dan teori-teori itu. Branislav Malinowski
(1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang dinamakan konflik oedipal di
antara penduduk pulau Torbiand. Prothro (1961) dalam studinya terhadap
praktik-praktik pendidikan anak di Libanon memperoleh bukti bahwa karakter anal
sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet
training seperti yang diteorikan Freud. Dan, Victor E. Frankl (1964) lewat
serangkaian penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa tak ada hubungan antara
citra ayah positif dangan keyakinan agama seseorang dan sikapnya terhadap
Tuhan.
Kritik Epistemologis
Epistemologi
(filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa yang mungkin
diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan.
Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat,
jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang dimungkinkan
manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada tahap mana
pengetahuan yang dapat ditangkap manusia (Sahakin & Sahakin, 1965).
Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat ilmu yang
secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah.
Karena
semua pembahasan filsafati itu bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan
kritik epistemologis adalah pengujian apakah suatu teori mengandung kontradiksi
tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki
konsistensi logis atau tidak. Hal yang sama dilakukan terhadap konsep-konsep
yang mendasari suatu teori.
Berikut
ini beberapa contohnya. Pandangan statistikal atau pendekatan grafik-kurva-normal
adalah salah satu norma untuk menjawab pertanyaan: siapakah yang normal dan
siapakah yang abnormal secara psikologis? Berdasarkan konsep ini disimpulkan
bahwa orang-orang yang normal adalah orang-orang yang berperilaku psikologis
sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka, yang normal, adalah
yang terkumpul di tengah grafik yang berbentuk lonceng itu. Pandangan seperti
ini mengandung kesulitan logis, dikarenakan konsekuensinya kita harus
menganggap orang-orang yang emosinya luar biasa stabil, misalnya, sebagai
orang-orang abnormal, sama seperti orang-orang sub-normal yang mengalami
gangguan emosional gawat atau orang-orang neurotik.
Norma
lain, dari sudut pandangan kultural, konsep keabnormalan jauh lebih kabur lagi.
Ini disebabkan karena pandangan tersebut memberikan kewenangan menimbang
kenormalan dan keabnormalan seseorang pada lingkungan sosio-kultural orang
tersebut. Karena itu tingkah laku yang dianggap abnormal pada suatu masyarakat
atau suatu kelompok tertentu, bisa saja dianggap normal jika orang itu pindah
ke kelompok lain. Malik B. Badri (1986) memberi contoh sebuah adat istiadat
Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira, di mana pada upacara-upacara
perkawinan, pengatin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu
teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya,
seolah dalam trance hipnotik.
Sementara itu, para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat dan
menikmati peristiwa yang dipandang sangat “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa
itu, psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin akan menganggap pengatin
pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan seksual. Si pengantin pria
akan dicap sebagai seorang sadistik yang mendapatkan kenikmatan erotik dengan
menyakiti orang lain, dan yang dicambuki adalah orang-orang masokhis yang
terpuasi nafsu erotiknya dengan disakiti.
Kritik Ideologis
Kritik
ideologis bertujuan menyingkap dan mengungkap segi-segi ideologis, nilai-nilai,
pandangan-pandangan dasar tentang manusia dan semesta yang mendasari atau
menyusup dalam suatu teori atau juga ikut membonceng dalam penerapan suatu
teori.
Anggapan
bahwa ilmu tidak memberikan penilaian (evaluation),
tapi hanya mau mengemukakan fakta apa adanya dengan cara objektif sebagaimana
yang bisa disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris, telah
disangkal keras oleh Gunnar Myrdal (1969). Dalam semua usaha ilmiah tidak bisa
dihindarkan adanya suatu unsur apriori. Oleh sebab itu, unsur-unsur apriori
yang berupa asumsi-asumsi dasar, faham-faham ideologis yang mendasari suatu
teori hendaknya tidak disembunyikan, melainkan harus dirumuskan dengan jelas
agar dapat secara terbuka didiskusikan. Jelaslah bahwa fakta-fakta tidak mengoganisir
diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori hanya karena diamati. Fakta-fakta
dapat diorganisasi menjadi konsep atau teori hanya setelah diolah dengan
menggunakan kerangka konseptual tertentu yang tentunya sudah ada dalam benak
sang teoritisi atau dipilih secara apriori. Bahkan apa yang dinamakan
fakta-fakta ilmiah pun hanya akan tampak jika dilihat dengan kerangka gagasan
atau teori tertentu yang tentunya dipilih secara subjektif, dan tidak tampak
kalau kita memakai kerangka gagasan atau teori yang lain. Bagi orang yang hanya
percaya pada empirisme, misalnya, adalah berarti ia sudah berpihak kepada
empirisme dan tidak pada intuisionalisme. Dus, sudah tidak netral lagi. Maka
bagi seorang empiristik, objektivitas sudah diredusir maknanya menjadi
kepastian empiris belaka (Myrdal,1969).
Jadi,
seorang psikolog yang memandang manusia sebagai seekor binatang materialistik
yang bermotivasi tunggal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan
sosialnya “di sini dan saat ini” (here
and now), dengan sendirinya – dalam
hal ini, setidak-tidaknya -- berpandangan
atheis. Manusia dianggap tidak memiliki jiwa, orientasi dan kerinduan terhadap
hal-hal yang tinggi dan metafisis sifatnya. B.F. Skinner yang dengan tegar
tidak mau mengakui adanya apa yang dimaksud dengan kehendak bebas (free will) dalam perilaku manusia, dan
yang memandang manusia bagai mesin belaka (Hjelle & Ziegler, 1981), maka
tentunya di dalam sistem psikologinya berkonsekuensi menonsenskan tanggung
jawab manusia. Kenapa manusia harus bertanggung jawab jika ia tidak lebih dari
mesin yang bertingkah laku semata atas dasar stimulus-respons? Sama pula dalam
psikoanalisa Freud, pertanggungjawaban mustahil diminta karena manusia hanyalah
binatang yang bergerak atas dorongan insting: eros dan thanatos. Memang, psikoanalisa tidak
terlepas dari pandangan Freud bahwa konsep Tuhan tidak lain adalah sebuah
delusi ciptaan manusia. Dan, Freud menyesali kenapa manusia masih menyembah apa
yang dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan
masa kecil. Begitulah, dalam pandangan psikologi tadi, manusia hanyalah sekedar
makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh yang menautkan
manusia dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA:
Badri, Malik B., Dilema Psikolog Muslim, (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati),
Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel
J., Personality Theories: basic
Assumtions,
Research, and Aplications,
Auckland :
McGraw-Hill International Book
Company, 1981
Myrdal, Gunnar, Objectivity in Social Research, New York : Pantheon Books,
1969
Sahakin, William S. & Sahakin,
Mabel L., Realm of Philosophy, Cambridge :
Schenkman, 1965
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat
Ilmu, Jakarta :
Penerbit Sinar Harapan, 1984
0 comments:
Post a Comment